Berita Suram Pendidikan

Berita Suram Pendidikan

Mediabaca.com — Kisah memilukan dari SMAN 72 kembali menambah rentetan berita kelam dari ruang pendidikan. Kita mungkin tak pernah membayangkan sebuah ledakan dapat terjadi di sekolah, tempat yang semestinya menjadi ruang paling aman bagi anak. Sekolah adalah lokus di mana peradaban ditanamkan, kegembiraan dipupuk, dan kemanusiaan dijaga. Namun dentuman itu bukan hanya fisik, tetapi juga simbolik ada ledakan emosional dari dalam diri seorang anak yang tidak tertangani oleh sistem pendidikan yang seharusnya melindunginya.

Tak lama berselang, seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan berinisial MH (13) meninggal dunia, diduga akibat perundungan oleh teman-temannya.Kasus ini kini ditangani kepolisian (16/11/2025). Dua peristiwa tersebut menegaskan bahwa perundungan bukan perkara kecil, dan bahwa sekolah kita masih gagal mendeteksi perilaku destruktif di ruang kelas. Pencegahan kembali menjadi wacana, bukan kenyataan. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman justru berubah menjadi arena gelap

Aturan sebenarnya tidak kurang. Kita bisa menemukan beragam pedoman, buku, hingga poster kampanye anti-kekerasan hanya dengan sekali pencarian di internet. Pemerintah bahkan mewajibkan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di setiap sekolah. Namun ledakan kasus di berbagai wilayah menunjukkan bahwa sistem pencegahan belum bekerja. Penanganan sering kali baru digerakkan secara serius ketika publik bising dan media sosial sudah memekakkan telinga.

Berbagai analisis muncul, terutama dari aspek psikologis dan pedagogis. Kita mendengar soal kurangnya pendampingan emosional, rapuhnya mentalitas anak, hingga ruang personal yang tidak diberi tempat dalam kurikulum. Analisis tersebut penting, namun hanya menjelaskan sebagian kecil dari persoalan. Pendidikan kita kerap dibahas seolah-olah berdiri di ruang hampa, seakan seluruh variabel yang memengaruhi anak hanya berada di bangku sekolah. Diskusi publik pun berputar soal metode mengajar, infrastruktur, atau kualitas guru, padahal kompleksitas pendidikan di Indonesia jauh lebih dalam.

Yang luput dibicarakan adalah kondisi keluarga yang kian rapuh menghadapi tekanan sosial-ekonomi. Fundamen pengasuhan yang dahulu dapat diandalkan kini tergerus oleh realitas ekonomi yang tidak stabil. Imajinasi “keluarga cemara”ayah dan ibu yang harmonis, hadir, dan mengasuh semakin sulit diwujudkan. Laporan Kompas (8/10/2025) menunjukkan seperlima anak Indonesia hidup tanpa pengasuhan memadai, menjadi bukti bahwa gambaran ideal tentang keluarga tidak selalu hadir di dunia nyata.

Ketidakhadiran figur ayah atau ibu bukan sekadar persoalan kemauan, tetapi konsekuensi dari tekanan hidup. Banyak ayah harus bekerja jauh dari rumah; banyak ibu kini ikut menopang ekonomi keluarga; sebagian orangtua bekerja siang-malam hingga tak sempat menemani anak belajar atau sekadar mendengar cerita mereka. Kita membayangkan anak belajar nilai dari orangtuanya, namun kenyataan menunjukkan banyak anak tumbuh dengan pengasuhan terbatas, bahkan oleh pengasuh, kakek-nenek, atau orang dewasa lain di sekitarnya.

Pendidikan Bukan Ruang Hampa

Dinamika keluarga pun berubah drastis. Angka perceraian meningkat setiap tahun, mengindikasikan rapuhnya ikatan rumah tangga akibat tekanan ekonomi, perubahan nilai gender, hingga paparan media sosial. Semua itu berdampak pada ruang pendidikan anak. Mendidik anak dengan kasih sayang dan komitmen kini menjadi tugas yang kian berat. Di kota-kota besar, biaya hidup melonjak, termasuk biaya pendidikan. Investasi pendidikan sebagian besar di tanggung keluarga, dari sekolah hingga kursus dan pengembangan bakat. Pendidikan yang ideal menjadi semakin mahal, sementara kesenjangan akses makin terasa. Henry Giroux (2014) menyebut hilangnya jiwa publik pendidikan ketika biaya pendidikan melonjak dan universitas bergeser menjadi institusi yang menilai pengetahuan dari profit yang di hasilkannya. Gambaran ini semakin relevan di Indonesia. Keadilan sosial di bidang pendidikan masih jauh dari cita-cita.

Waktu bersama anak, yang dulu di anggap wajar, kini menjadi barang mewah. Cerita dalam novel Momo karya Michael Ende terasa nyata waktu dicuri oleh “Tuan Abu-Abu”. Hari ini, waktu orangtua dicuri oleh sistem ekonomi yang memaksa mereka bekerja tanpa batas, bukan hanya demi keluarga, tetapi juga demi menjaga mesin produksi kapitalisme tetap berjalan. Hubungan keluarga pun goyah, dan anak kehilangan ruang untuk didengarkan.

Nancy Fraser (2022) menyebut kondisi ini sebagai krisis kepedulian. Kapitalisme bergantung pada kerja-kerja reproduksi sosial pengasuhan, pendidikan, perawatan namun pada saat yang sama menggerogoti fondasi aktivitas tersebut melalui tuntutan produktivitas tanpa batas. Akibatnya, kerja pengasuhan di anggap kurang penting dibanding kerja produktif. Ketika anak kecanduan gawai, game, atau memilih nongkrong di luar rumah, kita mudah menyalahkan mereka. …

Padahal perilaku itu sering kali lahir dari kelangkaan perhatian. Intervensi kebijakan pun masih reaktif melarang, membatasi, mengawasi bukan memperbaiki akar masalah: minimnya kehadiran emosional orangtua. Transisi anak muda ke dunia kerja pun semakin kompleks. Kelas sosial dan modal budaya menjadi penentu masa depan mereka, sebagaimana dijelaskan Furlong (2012). Ketika anak di bebani target akademik tanpa dukungan memadai, kompetisi pun dimenangkan oleh mereka yang memiliki privilese ekonomi.

Author: admin